Jaksa Agung Wacanakan Hukuman Mati Bagi Koruptor, ICW : Hanya Jargon Politik
Berita Baru, Yogyakarta – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan wacana hukuman mati koruptor dari Jaksa Agung ST Burhanuddin cuma jargon semata.
“Pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik,” ujar Kurnia di Jakarta, Kamis (04/11/2021).
Menurut dia, jargon tersebut tidak pas dengan kualitas penegakan hukum saat ini. Jargon itu tidak sinkron dengan realita yang terjadi.
Kurnia mempertanyakan apakah hukuman mati koruptor efektif memberi efek jera koruptor dan menekan angka korupsi. Pasalnya, kualitas penegakan hukum belum maksimal memberi efek jera.
“Khusus untuk Kejaksaan Agung, masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Korps Adhyaksa ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari,” kata Kurnia.
Senada, pakar hukum dari Universitas Pelita Harapan, Rizky Karo, mengkritik wacana hukuman mati koruptor Jaksa Agung.
Dia mengakui hukuman itu telah diatur Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan syarat tertentu.
“Dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” kata Rizky.
Menurut dia, wacana hukuman mati koruptor terlalu umum, sedangkan regulasi yang mengatur pidana tersebut memberi syarat khusus. Alhasil, tak semua tindak pidana korupsi bisa berujung hukuman mati.
Rizky mengatakan syarat hukuman mati di UU Tipikor harus ditelaah jaksa penuntut umum (JPU). Penelitian mesti melihat hubungan sebab akibat dan layak tidaknya hukuman mati.
“Jadi, kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melakukan penuntutan harus dilakukan sesuai prosedur hukum disertai bukti yang cukup (due process of law),” kata Rizky.
Rizky menyebut wacana itu tak tepat sasaran. Pasalnya, tugas dan fungsi kejaksaan untuk menegakkan hukum dengan tepat yang paling dinanti masyarakat, khususnya dalam mengembalikan keuangan negara.
Dia mengkritik keinginan Jaksa Agung menerapkan hukuman mati di kasus korupsi Jiwasraya dan ASABRI. Prioritas utama seharusnya, yakni melindungi korban, menuntut terdakwa, dan mengembalikan kerugian negara.
“Walaupun pidana mati masuk ke dalam dakwaan dengan model dakwaan tertentu (tunggal, alternatif, kumulatif, subsider, kombinasi) suatu perkara, namun majelis hakim pemeriksa perkara yang akan menjatuhkan vonis, apakah memang pantas divonis dengan pidana mati atau tidak,” kata Rizky.