Curhat Korban Pelecehan
Malam ini aku termenung, masih saja membekas dalam ingatan. Atas kejadian kemarin yang menimpaku. Kejadian yang membuat sampai detik ini memberikan bekas trauma untuk melewati gang-gang sepi di jalan Jogja.
Bagaimana tidak, ketika sedang santainya melewati jalan Solo yang sedang sepi-sepinya ditengah malam, ada saja orang bodoh melakukan aksi pelecehan kepadaku dengan wajah tanpa kepanikan sedikitpun.
Untuk menghilangkan suntukku malam ini, dengan malas-malasan aku buka aplikasi Instagram. Setelah beberapa saat aku scroll aplikasi tersebut, dari sekian banyak postingan yang tidak penting. Tidak sengaja aku melihat postingan yang menarik perhatianku. Postingan dari salah satu akun daerah yang sedang gencar-gencarnya menyuarakan E-tilang di Wilayahnya.
Dalam postingan tersebut terdapat gambar dari cctv yang menampilkan sebuah kendaraan yang melanggar peraturan lalu lintas. Data kendaraan tersebut dengan jelas terpampang surat-surat dan identitas pemilik kendaraan tersebut, meskipun detailnya diblur guna menjaga data privasi pelaku.
Namun, plat nomor tetap terlihat jelas. Pikirku pihak berwenang Negara pasti punya detail pemilik kendaraan tersebut. Hal itu cukup membuatku tertarik. Apalagi ketika postingan tersebut aku membandingkan dengan kejadian yang menimpaku kemarin.
Lalu apa sih hubungan postingan E-tilang tersebut dengan kejadian pelecehan yg baru-baru ini aku alami?
Mungkin ini hanya asumsiku saja dengan kondisi psikis yang sedang tidak stabil. Aku jadi berangan-angan, bagaimana cara membuat laporan agar bisa dengan mudah mendapatkan data pengendara kendaraan seperti di postingan tersebut?
Bagaimana caranya agar mendapatkan izin akses CCTV terdekat kejadian? Mengingat beberapa kasus pelecehan seksual di Indonesia, khususnya di Jogja begitu sangat belibet. alih-alih mengatasi kasus pelecehan seksual dengan melindungi korban, pihak berwajib justru malah mempersulit proses laporan hingga psikis korban bertambah jatuh dan terpaksa berdamai dengan keadaan.
Apakah tindakan pelecehan seksual sebegitu tidak pentingnya diselesaikan sehingga dianggap remeh untuk diproses oleh pihak berwajib dan berwenang.
Bukan untuk menghakimi sang pelaku, bukan juga ingin balas dendam. Apakah pelaku seperti itu karena dibiarkan begitu saja?
Bagimana kalau dia berulah lagi dan makin bayak korban yang jadi sasarannya? Bagaimana nasib korban-korban lain? Proses penyembuhan psikis pelaku tidak semudah mulut-mulut mencerca dan menghakimi korban.
Dengan proses hukum yang belibet tadi, dan selama UU PKS belum disahkan aku sangat yakin korban kejahatan pelecehan seksual di luar sana sampai hari ini enggan melaporkannya kepada pihak berwajib. Jikapun pihak berwajib menindaknya, lalu menemukan pelaku, dari kasus yang sudah-sudah, ujungnya akan didamaikan oleh pihak berwajib yang berperan sebagai penengah karena tidak ada jaminan hukum yang melindungi hak-hak dan keamanan korban.
Belum lagi hukum sosial produk dari patriarki yang selalu saja menyalahkan korban. Pasti pakaiannya? kenapa keluar malem-malem? kenapa pulang sendirian? kenapa lewat gang yang sepi? Cercaan itu selalu menghantui korban yang mungkin bagi para netizen itu ga seberapa yaa
Sebagai korban, aku berharap setidaknya ada tindakan untuk membuat jera sang pelaku, sehingga tidak ada korban-korban yang akan mengalami hal serupa. Minimal tidak menghakimi korban entah karena pakain yang dikenakan korban atau pernyataan bodoh lainnya yang menyalahkan korban.
UU PKS yang selalu disuarakan oleh kaum feminis bukan serta merta hanya untuk melindungi kebebasan berekspresi kaum tersebut. Akan tetapi untuk kelangsungan hidup aman orang banyak, bukan hanya untuk perempuan saja namun juga untuk laki-laki yang pernah atau sedang menjadi korban pelecehan seksual.
Hi Negara ku yang katanya menganut sistem demokrasi. Apakah ini sebuah kenistaanmu dalam pengesahan UU yang jelas menguntungkan beberapa pihak saja? 😀