Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Hukuman Pinangki Berkurang, Mantan Ketua Komisi Yudisial : Lemahnya Komitmen Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Hukuman Pinangki Berkurang, Mantan Ketua Komisi Yudisial : Lemahnya Komitmen Pemberantasan Korupsi di Indonesia



Berita Baru, Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) gelar diskusi publik menyoal hasil putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang “menyunat” hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun dengan denda Rp600 juta. ICW menilai putusan tersebut merupakan jalan mundur pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Diky Anandya selaku moderator dalam acara tersebut mengatakan bahwa pemotongan selama enam tahun terhadap jaksa Pinangki tidak masuk akal di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Menurutnya, ICW cukup sering mendapati institusi peradilan mengeluarkan vonis dan mengobral diskon untuk terdakwa kasus korupsi.

“Ini semakin menunjukkan bahwa lembaga kekuasaan kehakiman kita sama sekali tidak mendukung upaya atau agenda pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Diky Anandya dalam diskusi publik oleh ICW secara daring di kanal youtube Sahabat ICW, Minggu (27/06/2021).

Komisi Yudisial Dapat Membuka Kejanggalan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

Suparman Marzuki, salah satu pembicara dalam Webinar bertajuk ‘Menyoal Putusan Jaksa Pinangki: Jalan Mundur Pemberantasan Korupsi’ itu menuturkan bahwa vonis ringan bagian dari gejala lemahnya komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.

Mantan Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015 ini menilai kasus Pinangki, sejak awal sudah salah penanganan. Konflik kepentingannya tidak dilihat sebagai masalah. Sebagian besar orang, menurutnya, berharap tidak ditangani oleh kejaksaan, tapi ditangani oleh institusi yang lebih independen. Yaitu KPK-lah yang paling tepat.

“Sekalipun mungkin kondisi KPK seperti yang harapkan, tapi setidaknya secara institusional langkahnya sudah benar diambil oleh komisi pemberantasan korupsi. Apakah itu diambil atau diserahkan oleh kejaksaan itu kalau punya iktikad untuk klir menangani perkara ini harusnya bukan ditangani oleh kejaksaan. Dari situ saja sudah keliatan dari proses penanganan perkara ini sudah salah kaprah,” kata Suparman.

Lebih lanjut Suparman melihat putusan bagi Pinangki bukan sekedar untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara ansih, dalam hal ini suap menyuap, korupsi, gratifikasi yang diterima oleh Pinangki. Tapi putusan itu berimplikasi pada kepentingan publik dalam rangka membangun peradaban hukum.

Suparman berharap Komisi Yudisial untuk mengedintifikasi lebih jauh dan tidak perlu risau dengan argumen independensi. Independensi menurutnya, secara yurisdiksi ada di wilayah ketika hakim memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara Pinangki tersebut.

“Tetapi ketika perkara sudah di putus ini milik publik, sudah dilepas dan itu menjadi bahan untuk bisa dieksamenasi. Apalagi cuma dikomentari. Jadi teman-teman di Komisi Yudisial untuk komentar saja takut, ini yang saya agak heran. Komentar saja tidak cukup punya pesan yang bagus, harusnya ada massage yang jelas dari teman-teman di Komisi Yudisial terhadap putusan-putusan yang semacam ini,” ujarnya.

Untuk membuka kejanggalan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut, Suparman menyarankan Komisi Yudisial mengambil langkah untuk memeriksa kembali putusan Pengadilan Negeri yang sebelumnya. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah ada yang keliru dari putusan PN, sehingga menyebabkan PT memotong dakwaan sebelumnya.

“Kalau misalkan tidak ada yang janggal dalam putusan PN, mulai dari dakwaan jaksa karena dalam putusan pasti dakwaannya dimuat, lalu ketika di PT muncul pertimbangan yang aneh, maka patut diduga ada sesuatu yang tidak betul. Karena begini, putusan itu ruang gelap area gelap yang bisa dipermainkan,” tutur Suparman.

Selain itu menurut Suparman, Komisi Yudisial juga dapat mengidentifikasi trade record hakim yang memutus pemotongan dakwaan Jaksa Pinangki. “Identifikasi putusan-putasan mereka terdahulu. Ambil sepuluh putuhan mereka yang terhitung kontroversial. Yang kedua identifikasi trade record personalnya. Lalu yang ke tiga lakukan investigasi terhadap hakim-hakim bersangkutan,” ujarnya.

Adapun cara investigasi terhadap hakim, tutur Suparman, Komisi Yudisial sudah punya sistem dan metode kerjanya.

“Sudah baku itu. Cek laporan-laporannya di Komisi Yudial selama ini, buka semua file-filenya. Semua itu nanti diidentifikasi sehingga berbagai kemungkinan terhadap putusan kasus Pinangki itu bisa direka. Sehingga pesannya sampai ke publik bahwa putusan yang dilakukan pengadilan tingi terhadap kasus Pinangki itu dari 10 tahun menjadi 4 tahun itu irasional,” tukasnya. (mkr)