Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menjelang Muktamar Ke-34 NU, FMNI Ingatkan PBNU Terkait Pengembangan NU Luar Jawa
Logo resmi Nahdlatul Ulama (NU). (sumber foto: website resmi NU).

Menjelang Muktamar Ke-34 NU, FMNI Ingatkan PBNU Terkait Pengembangan NU Luar Jawa



Berita Baru, Yogyakarta – Menjelang akan diadakannya Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) pada bulan Desember mendatang di Lampung, Forum Muda Nahdliyyin Indonesia (FMNI) mengingatkan Pengurus Besar NU (PBNU) terkait pengembangan NU di luar pulau jawa.

Hal tersebut FMNI sampaikan melalui “Risalah FMNI Menyambut Muktamar NU ke-34 di Lampung ; Memperkuat NU Luar Jawa” yang diterbitkan pada Sabtu (13/11/2021).

“Muktamar ke-34 mendatang ini akan menjadi pertaruhan sejarah NU untuk menentukan langkahnya menyambut usia satu abad NU, maka besar harapan warga NU agar Muktamar ke-34 mendatang ini memperkuat marwah NU sebagai organisasi keulamaan dengan lebih mengedepankan sikap dan etika keulamaan” tulis FMNI dalam risalahnya.

FMNI mengatakan, bahwa Muktamar bukan forum memamerkan sekaligus mengumbar kekuasaan dan egoisme, terutama perebutan posisi ketua umum tanfidziyah yang selama dua puluh tahun terakhir diwarnai dengan politik uang.

FMNI menjelaskan, bahwa muktamar merupakan  forum musyawarah untuk menyerap, menyimpulkan, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk menjawab tantangan dan sederet masalah yang dihadapi oleh jam’iyyah (organisasi) maupun jamaah (warga) NU hari ini.

“Salah satu persoalan penting yang dihadapi Jam’iyyah dan jamaah NU dalam dua puluh tahun terakhir adalah kesenjangan perkembangan NU di Jawa dan di luar Jawa” ungkap FMNI.

FMNI menyampaikan, dengan latar belakang demikian, FMNI memandang bahwa perhelatan muktamar NU yang akan diadakan di Lampung pada Desember mendatang penting memperhatikan pengembangan NU di luar Jawa dengan mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, perlu diingat, dalam sejarah pendirian NU, NU di luar Jawa adalah bagian tak terpisahkan dari NU. Dalam sejarah NU di luar Jawa, seperti di NTB, Kalimantan, pulau Sumatra dan pulau-pulau yang lain, umat Islam yang bersiteguh dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah bergabung secara sukarela dengan Jam’iyyah NU dengan jaminan berupa kharisma, integritas, ketawadu’an, kemurahatian, dan etika para ulama pendiri NU yang rajin datang bersilaturahim ke segenap pelosok di luar Jawa seperti yang dilakukan para masayikh pendiri NU di Jawa sendiri. KH. Hasyim Asyari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Hasan Gipo, dan masayikh lainnya tidak membedakan antara NU di Jawa dan di luar Jawa. Harus diingat sebagai perbaikan dan ‘ibroh sejarah, bahwa para pendiri NU tidak membedakan diri mereka dengan para ulama NU di luar Jawa, dan justru secara terang-terangan menghormati otonomi para ulama di luar Jawa, di daerahnya masing-masing.

Kedua, perlu menimbang dinamika politik dan ekonomi mutakhir, bahwa NU luar Jawa merupakan basis komunitas NU di tengah berbagai mayoritas organisasi lain, baik yang berhaluan ASWAJA atau tidak. Dalam sejarahnya, orang-orang NU di luar Jawa menghadapi banyak kesulitan, misalnya tekanan Orde Baru yang mendefisitkan NU luar Jawa, baik jumlah, kualitas dan secara keorganisasian.

Pada masa Orde Baru, warga NU di luar Jawa bersama para ulamanya bertahan dengan garis imajiner ke-ASWAJAAN- dan ingatan tentang personal para masayikh NU yang masih tertanam di sanubari dan menjadi mesin yang merawat kebanggan sebagai bagian dari NU.

Dan dalam sepuluh tahun terakhir, di seluruh pelosok Indonesia terjadi arus-balik umat Islam Indonesia untuk kembali kepada tradisi ASWAJA ulama Indonesia. Di berbagai daerah yang memiliki sejarah NU, kini tumbuh gerakan arus balik kepada NU. Hal ini disebabkan oleh semakin basinya berbagai ideologi dan ajaran Islamisme dan menguatnya kritik terhadap modernisme. Artinya, arus-balik kepada tradisi ASWAJA Indonesia ini merupakan limpahan dari pergulatan umat Islam, bukan semata hasil kerja keorganisasian NU. Dan, tentu ini harus menjadi muhasabah secara serius oleh semua pengurus NU dan warga NU.

Melihat kondisi yang demikian, FMNI mengkaji dan mentadabburi eksistensi NU di luar Jawa sebagai tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang memerlukan perhatian khusus. Bahkan, FMNI menyampaikan beberapa kesimpulan dari hasil kajiannya, bahwa pengembangan NU ke depan :

  1. Memberikan porsi kepemimpinan yang teratur dan terukur, baik  level syuriah maupun tanfidziyah kepada para ulama dan kader NU dari luar Jawa, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, Palembang, Medan, Padang, dll, dengan mempertimbangkan kapasitas dan integeritas keulamaan dan intelektualitas. Hal ini perlu dilakukan agar kepemimpinan NU tumbuh secara merata di seluruh Indonesia, memulihkan-memperkuat jaringan dan memperkuat daya tawar politik NU pada semua level.
  2. Mendesak PBNU untuk membantu pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan formal NU di luar Jawa. PBNU harus membuka akses seluas-luasnya dan berimbang bagi kader pesantren NU di luar Jawa untuk mendapatkan kesempatan dan beasiswa pendidikan di dalam maupun luar negeri. Selain itu, PBNU memiliki kewajiban memberikan dukungan finansial dan prasarana secara transparan melalui berbagai jaringan NU yang ada.
  3. Mendorong dan mendukung penelusuran dan penulisan sejarah para tokoh Nahdlatul Ulama di luar Jawa. Mulai dari para pendiri NU, alim ulama yang menjaga NU, dan berbagai khazanah-khanazah ke-NU-an dan kepesantrenan di luar Jawa.
  4. PBNU memiliki kewajiban mendatangi warga NU di luar Jawa secara intensif dengan mengedepankan asas persaudaraan, kerendahhatian, dan kesederhanaan, juga menjauhi pendekatan elitis dan politik kekuasaan dengan para ulama, pengurus dan warga NU luar Jawa seperti yang terjadi dua puluh tahun terakhir.
  5. PBNU memiliki kewajiban menjembatani pertemuan-pertemuan reguler para ulama kharismatik di Jawa dengan para ulama di luar Jawa di luar program organisasi. Yakni, mendorong pertemuan-pertemuan informal antara para ulama kharismatik di Jawa dan luar Jawa.
  6. Siapapun yang terpilih menjadi Rais Aam PBNU dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU pada muktamar ke-34 di Lampung, kita mendesak agar mau melanjutkan teladan dari KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Abdul Wahid Hasyim, dan KH. Mahfudz Shiddiq, di masa lalu, dan Gus Dur pada dekade 1980an. Teladan yang dimaksud adalah memperkuat silaturahim dengan ulama NU di luar Jawa.
  7. Seluruh level kepemimpinan di PBNU, terutama Ketua Umum Tanfidziyah dan jajarannya harus  aktif berjejaring dan terus melakukan kesepahaman dengan berbagai ormas ASWAJA yang tidak bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Sehingga tumbuh kerjasama, ukhuwwah islamiyah yang kuat, dan dapat bersama-sama mengembangkan Islam rahmatan lil’alamien di Indonesia. PBNU juga harus mendorong seluruh jajaran dan kader NU agar lebih aktif berkomunikasi dengan berbagai kelompok umat Islam yang tidak berpaham ASWAJA tanpa mengurangi komunikasi dengan berbagai kelompok non-muslim di Indonesia.  Sesuai dengan kaidah NU, ukhuwwah islamiyah harus berjalan seiring dengan ukhuwwah wathaniyah dan basyariah. Jangan sampai ukhuwwah wathaniyah dan basyariah menanggalkan kewajiban PBNU dan warga NU terhadap upaya menegakkan ukhuwwah Islamiyah.

Demikianlah pemaparan kesimpulan FMNI berdasarkan hasil kajian dan mujahadahnya yang tertulis dalam “Risalah FMNI Menyambut Muktamar NU ke-34 di Lampung ; Memperkuat NU Luar Jawa”.

Risalah tersebut dirumuskan oleh sepuluh (10) orang. Adapun yang termasuk dalam Majelis Perumus risalah tersebut ialah sebagai berikut:

  1. Hasan Basri Marwah (Nusa Tenggara Barat)
  2. Ainul Yaqin (Pasuruan)
  3. Nurul Huda SA (Solo)
  4. Nur Khalik Ridwan (Banyuwangi)
  5. Ahmad Anfasul Marom (Bojonegoro)
  6. Muhamad Nasihudin (Cilacap)
  7. Ali Usman (Madura)
  8. Sugiarto el Zuhri (Jambi)
  9. Hafidzen (Palembang)
  10. Edwin Ristianto (Jogjakarta)