Tidak Adanya Transparansi Dokumen Evaluasi Kinerja Batu Bara di Kaltim, Menteri ESDM Digugat JATAM
Berita Baru, Yogyakarta – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur (Kaltim) secara resmi menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai perkara keterbukaan informasi publik.
JATAM menilai tidak adanya transparansi tentang dokumen evaluasi kinerja di lima perusahaan batu bara yang akan habis masa kontraknya.
Adapun objek gugatan JATAM yakni, permintaan salinan dokumen kontrak 5 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan yang masa izin dan kontraknya akan berakhir mulai 2021 hingga 2025.
JATAM menilai, perusahaan tambang batubara yang akan habis masa kontraknya telah mengajukan perpanjangan izin dan berdasarkan UU Minerba dan UU Ciptaker.
“Pada November 2020 lalu, PT Arutmin diberikan perpanjangan otomatis, tanpa pengawasan dan partisipasi publik. Kini PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT ADARO, PT Multi Harapan Utama (MHU)” tulis JATAM dalam pers rilisnya, Rabu (28/09/2021).
Selain itu, PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA) dan PT Kendilo Coal Indonesia juga sedang melakukan hal serupa, yakni mengajukan perpanjangan izin dan kontrak kepada Kementerian ESDM.
Kelima perusahaan batubara ini di dalam UU Minerba dan UU Ciptaker mendapatkan sejumlah fasilitas mulai dari dijaminnya perpanjangan otomatis menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2 X 10 tahun.
Regulasi ini juga memberi insentif berupa tidak ada kewajiban pengurangan lahan konsesi dan insentif royalti nol persen (0%) bagi perusahaan batubara yang membangun fasilitas hilirisasi batubara.
Catatan JATAM Nasional menyebut luas lahan yang dikuasai oleh lima perusahaan ini mencapai 313.667 hektar atau setara dengan 5 kali luas DKI Jakarta.
Muhammad Jamil, selaku Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional menyampaikan dalam pers rilis JATAM Nasional, bahwa perpanjangan tanpa pengawasan dan partisipasi publik akan membahayakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, apalagi batubara adalah biang kerok utama dari pemanasan iklim global.
“Begitu juga proyek gasifikasi batubara yang saat ini dibangun PT KPC bahkan diklaim sebagai energi baru dan terbarukan yang justru sekadar legitimasi bagi energi fosil dan berbahaya seperti batubara untuk terus langgeng di Indonesia dan makin mengundang bencana ekologis dan krisis iklim” kata Jamil dalam pers rilis JATAM Nasional, Rabu (28/09/2021).
Selanjutnya, Jamil mengatakan bahwa Kementerian ESDM tidak menunjukkan itikad baik untuk membuka data tersebut, sehingga pihaknya bersama JATAM Kaltim mengajukan gugatan dalam persidangan.
Kemudiaan, dokumen salinan kontrak atau perjanjian, dokumen catatan evaluasi, notulensi hingga informasi siapa saja yang telah diundang dan dilibatkan termasuk dalam kategori data publik dan terbuka untuk diakses.
Hal itu sesuai dengan Pasal 64 dan 87D di dalam UU Minerba No 3 Tahun 2020 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah.
“Dua institusi ini, sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada masyarakat secara terbuka termasuk pusat data dan informasi pertambangan. Bahkan wajib menyajikan informasi pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pemegang perizinan berusaha dan masyarakat.
JATAM Nasional dan JATAM Kaltim juga memiliki sejumlah catatan jejak buruk pada kesejahteraan masyarakat setempat atau terhadap keberlangsungan lingkungan hidup di sekitar wilayah pertambangan. Khususnya, kelima perusahaan tambang PKP2B yang akan habis masa berlakunya.
Mulai dari merubah bentang alam, merusak sumber air, tindak kekerasan, kriminalisasi, merampas tanah, menggusur lahan masyarakat adat, menyembunyikan Informasi publik dan penuh jejak korupsi.
Berikut sejumlah daftar perusahaan tambang batubara raksasa yang sudah dan akan habis masa berlakunya dan sedang dalam upaya perpanjangan izin/kontrak;
1. PT Kendilo Coal Indonesia
Luas lahan: 1.869 ha
Berakhir perjanjian: 13 September 2021 (16 Tahun)
2. PT Kaltim Prima Coal
Luas lahan: 84.938 ha
Berakhir perjanjian: 31 Desember 2021 (38 Tahun)
3. PT Multi Harapan Utama
Luas lahan: 39.972 ha
Berakhir perjanjian: 1 April 2022 (36 Tahun)
4. PT Adaro Indonesia
Luas lahan: 31.379 ha
Berakhir perjanjian: 1 Oktober 2022 (39 Tahun)
5. PT Kideco Jaya Agung
Luas lahan: 47.500 ha
Berakhir perjanjian: 13 Maret 2023 (41 Tahun)
6. PT Berau Coal
Luas lahan: 108.009 ha
Berakhir perjanjian: 26 April 2025 (42 Tahun)