31 Juli Sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia, LPSK : Bersama Menangani Para Korban
Berita Baru, Yogyakarta – Peringati Hari Anti Perdagangan Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) gelar aksi di Titik Nol Km Yogyakarta, Minggu (31/7).
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo sebut modus pekerja migran mendominasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Dengan negara tujuan Irak, Suriah dan Turki. Wujudnya mulai dari upah dan fasilitas yang tak layak.
Dalam beberapa kasus, akibat dari TPPO ini adalah meninggal dunia. Hasto menjelaskan para pekerja migran tidak hanya mendapatkan upah yang tidak layak.
Adapula kekerasan fisik yang menyebabkan pekerja migran asal Indonesia meninggal dunia.
“Seringkali berangkat keluar negeri pulang tinggal badan tanpa nyawa, bahkan kadang organ tubuh tak lengkap, tidak tahu dijual atau dibuang kemana,” jelasnya saat Peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia se-Dunia di Titik Nol Kilometer Kota Jogja, Minggu (31/7).
Hasto menuturkan kejahatan TPPO adalah kejahatan internasional yang terorganisir.
Terbukti dari rapinya modus penipuan kepada para korban. Dengan merenggut hak asasi manusia, keadilan hingga sisi kemanusiaan.
“Bukan hanya untuk perdagangan orang tapi semua tindak pidana kejahatan yang ditangani LPSK dan minta gabung di Sahabat Saksi dan Korban,” katanya.
Tak hanya pekerja migran Indonesia, TPPO juga terwujud dalam eksploitasi lainnya. Pada urutan kedua adalah ekploitasi seksual.
Korbannya mulai dari usia anak dan perempuan. Adapula kasus kawin pesanan.
Dalam beberapa kasus, dominasi sumber TPPO adalah media sosial. Berupa datangnya tawaran untuk bekerja sebagai PMI maupun sektor lainnya.
Usut punya usut ternyata ilegal dan berujung pada TPPO atau human trafficking.
“Informasi dan media sosial turut berperan penting dalam proses perekrutan sebagai sarana eksploitasi korban. Banyak korban direkrut melalui media sosial dan aplikasi online lainnya,” ujarnya.
Hasto membuka data laporan permohonan perlindungan saksi dan korban TPPO pada 2021.
Total 168 permohon berasal dari 15 provinsi. Dengan sebaran di 47 kabupaten dan kota. Baik yang berasal dari PMI, eksploitasi seksual maupun penyebab lainnya.
“Sebanyak 60 pemohon berasal dari Jawa Barat, 27 pemohon dari Nusa Tenggara Barat, 10 pemohon dari Jawa Timur. Adapula 7 pemohon masing-masing dari Jawa Tengah dan Lampung. Lalu 3 pemohon masing-masing dari NTT dan Sulawesi Selatan dan sisanya daerah lain,” katanya.
Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menuturkan pada 2021 terdapat 252 pemohon. Sementara untuk medio 2022 ini sudah mencapai 160 pemohon. Data ini hanya untuk kasus TPPO.
Penyebab utama munculnya kejahatan TPPO adalah kemiskinan.
Akibat tingkat kehidupan yang belum naik, status pekerjaan belum tetap hingga tingkat pendidikan. Alhasil mudah terlena atas tawaran pekerjaan.
“Persoalan ekonomi jadi penyebab signifikan human trafficking, lalu persoalan lapangan pekerjaan ini siginfikan menyebabkan kejahatan human trafficking,” ujarnya.
Guna menekan TPPO, Anton mengajak semua pihak berperan aktif. Baik yang berlatarbelakang Kementerian, Lembaga maupun masyarakat.
Salah satu wujudnya dengan pembekalan kemampuan kerja.
“Mari bersama menangani para korban karena mereka membutuhkan pemulihan. LPSK bisa berperan di rehabilitasi psikologi. Hilangkan trauma mari kita penuhi bersama,” ajaknya.***